Kamis, 28 Juli 2016

Kerajaan Mataram Islam

KERAJAAN MATARAM ISLAM 

Bagaimanakah proses berdirinya Kerajaan Mataram di Yogyakarta? Bagaimanakah perjalanan Kerajaan Mataram hingga mencapai puncak kejayaah? Apakah faktor di balik kemunduran Kerajaan Mataram? Berikut penjelasannya.
Kerajaan Mataram didirikan pada tahun 1582 di Kotagede yang terletak di sebelah tenggara Yogyakarta. Kerajaan Mataram dinilai memiliki peran yang luas terhadap perkembangan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara. Kerajaan Mataram bermula dari sebuah wilayah yang menjadi bagian dari kekuasaan Kesultanan Pajang. Geliat untuk membuka wilayah kerajaan baru bermula setelah diserahkannya Mataram kepada Ki Ageng Pamanahan oleh penguasa Kesultanan Pajang saat itu, Arya Penangsang. Ki Ageng Pamanahan kemudian membangun pemukiman baru di wilayah, namun mendapat tanggapan yang kurang bersahabat dari penguasa setempat. Reaksi tersebut tidak menyurutkan tekad Ki Ageng Pamanahan yang tetap melanjutkan pembangunan di daerah tersebut, sembari mempersiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang kehadiran Mataram.
Pada tahun 1575, sepeninggal Ki Ageng Pamanahan, cita-cita untuk membuka wilayah baru dilanjutkan oleh putranya, Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Upaya ini menimbulkan peperangan antara Sutawijaya dan Kesultanan Pajang. Kekalahan Kesultanan Pajang dalam peperangan, melancarkan tekad Sutawijaya membentuk kerajaan baru di wilayah Kesultanan Pajang dengan nama Kerajaan Mataram. Sutawijaya mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga. Kerajaan mulai dibangun dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Kotagede. Perluasan wilayah mulai dilakukan hingga mencapai Madiun, Kediri, Jipang, Pasuruan, dan Tuban. Penaklukan dilakukan untuk menjadikan Kerajaan Mataram sebagai pusat kebudayaan dan agama Islam, sekaligus pelanjut cita-cita Kesultanan Demak.
Kejayaan Kerajaan Mataram berlangsung di bawah kepemimpinan rajanya yang ketiga, Pangeran Jatmiko yang diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Kerajaan Mataram berada di Yogyakarta. Kekuatan militer Mataram berkembang menjadi sangat kuat, seiring dengan penaklukan wilayah-wilayah lain di Pulau Jawa, seperti Kediri, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Pada tahun 1615, Kerajaan Mataram berhasil menundukkan seluruh daerah Jawa Timur. Di akhir tahun 1627, Kerajaan Mataram telah berhasil menguasai seluruh Pulau Jawa, kecuali Kesultanan Banten dan Batavia yang berada di bawah kekuasaan VOC.
Menganggap kekuatan militernya sudah cukup untuk menginvasi wilayah kekuasaan VOC, Sultan Agung Hanyakrakusuma mempersiapkan pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Bahureksa dan Tumenggung Sura Agul-Agul untuk mengepung Batavia tahun 1628. Penyerbuan yang dilakukan mengalami kegagagalan, bahkan Tumenggung Bahureksa gugur dalam pertempuran. Pada tahun 1629, serangan kembali dilakukan oleh pasukan Mataram dengan dipimpin Ki Ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, dan Ki Ageng Puger. Serangan ditujukan kepada benteng Belanda, Hollandia, Bommel, dan Weesp, namun serangan berhasil dipatahkan oleh pasukan Belanda. Kegagalan dalam serangan yang dilakukan oleh Kerajaan Mataram, di antaranya, disebabkan oleh beberapa hal:
• Jarak yang ditempuh pasukan Mataram terlalu jauh untuk mencapai Batavia sehingga mengurangi daya tahan prajurit ketika bertempur.
• Kekurangan logistik dan persenjataan.
• Tidak adanya kerja sama dengan Kerajaan Banten sebagai kerajaan terdekat di Batavia untuk merancang rencana penyerbuan ke wilayah kekuasaan Belanda.
• Batalnya bantuan militer dari Portugis untuk menghadapi Belanda.
Pasca kegagalan serangan militer kedua Mataram untuk merebut Batavia, kerajaan mengalami kemunduran karena kekurangan pasukan untuk menjaga wilayah kekuasaan yang ada. Akibatnya, satu demi satu wilayah Mataram memisahkan diri. Kerajaan Mataram memiliki sejumlah peninggalan budaya yang masih dapat dijumpai hingga kini, antara lain:
1. Kebudayaan Kejawen, yakni bentuk akulturasi dari kebudayaan asli Jawa dengan ajaran Islam. Beberapa upacara adat Jawa yang semula adalah bentuk pemujaan berubah menjadi ritual dengan menggunakan doa-doa sesuai ajaran Islam.
2. Perhitungan Tarikh Jawa, yaitu sistem perhitungan tahun berdasarkan adat Jawa yang disusun oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma.
3. Perkembangan Kesusastraan Jawa, yang terjadi pada masa kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Beliau bahkan mengarang kitab berjudul Sastra Gending yang berisi filsafat kehidupan dan kenegaraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar