Kamis, 28 Juli 2016

FAKTOR PENDORONG REVOLUSI INDUSTRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP INDONESIA

FAKTOR PENDORONG REVOLUSI INDUSTRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP INDONESIA

Revolusi Industri adalah masa peralihan penggunaan tenaga kerja manual dengan mesin. Revolusi Industri telah banyak mengakibatkan perubahan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan. Apakah faktor pendorong Revolusi Industri? Apakah dampaknya terhadap Indonesia?
A. PENGERTIAN REVOLUSI INDUSTRI
Revolusi industri adalah masa peralihan penggunaan tenaga kerja manual dengan mesin. Peristiwa ini bermula di Inggris dan dengan cepat mengubah sistem ekonomi negara yang semula berbasis pada pertanian menjadi industri. Hal tersebut sekaligus mempercepat pertumbuhan kota-kota dan mengubah daerah desa menjadi kota. Perubahan yang diakibatkan revolusi industri tidak hanya dalam sektor ekonomi, namun juga seluruh sektor kehidupan.
B. REVOLUSI INDUSTRI DI INGGRIS
Abad ke-18 merupakan awal terciptanya metode baru dalam dunia industri, yaitu pemakaian mesin baru, penemuan sumber tenaga baru, dan sistem bisnis baru serta sistem ketenagakerjaan. Manusia pun memulai pengembangan produksi secara massal dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam praktik bisnis skala besar. 
Munculnya Revolusi Industri didukung oleh beberapa faktor berikut:
1) Kondisi sosial, politik dan ekonomi sangat mendukung.
2) Hak kekayaan intelektual sangat dilindungi.
3) Perlindungan dan penegakan hukum oleh pihak pemerintah.
4) Tingkat penerimaan pajak tidak terlalu tinggi.
5) Tingkat campur tangan pemerintah terhadap bidang ekonomi relatif rendah. Kebebasan dalam bidang ekonomi dipopulerkan oleh ekonom Inggris, Adam Smith, di dalam bukunyaThe Wealth of Nations (1776).
C. DAMPAK REVOLUSI INDUSTRI BAGI INDONESIA
1. Dalam Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Revolusi industri yang telah terjadi di Eropa memiliki latar belakang ilmu pengetahuan yang sudah lebih maju dibandingkan sebelumnya. Ketika Inggris menduduki Indonesia, ini sangat berpengaruh terhadap ilmu pengetahuan dan penguasaan alam yang ada di Indonesia. Contohnya adalah penemuan Raffles terhadap bunga bangkai ditemukan di Bengkulu yang dinamakan Raflesia arnoldi
Hal sama juga terjadi saat Belanda menduduki Indonesia. Selain mereka mengeksploitasi segala bahan baku yang ada di Indonesia, secara tidak langsung, mereka juga berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan teknologi di Indonesia. Contohnya adalah Van Den Bosch yang mendirikan tempat observasi bintang di Bandung. Dengan duduknya bangsa Eropa di Indonesia pada saat itu memberikan dampak yang tidak langsung terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.
2. Terjadinya Diskriminasi Sosial
Dengan adanya revolusi industri, terjadi perbedaan yang mencolok antara golongan Barat atau Belanda dengan golongan pribumi. Hal ini terjadi dikarenakan bangsa Belanda yang menggunakan sistem kapitalis menjadikannya alasan untuk menciptakan perbedaan perlakuan antar masyarakat umum dengan masyarakat Belanda. Diskriminasi ini terjadi di segala bidang mulai dari pemerintahan, militer, atau pun bidang perkebunan.
3. Dalam Bidang Transportasi
Revolusi industri yang terjadi, secara tidak langsung, berdampak dalam hal transportasi di Indonesia, terutama transportasi darat. Hal ini dimulai sejak Daendels memerintah Jawa dan membuat rute baru Anyer-Panarukan yang membelah Pulau Jawa pada awal abad ke-19. Tujuan awal jalan tersebut adalah untuk mempercepat proses informasi komunikasi antar kantor pos, namun selanjutnya berguna pula untuk jalur mobilitas penduduk yang ingin ke luar kota atau pulau. Untuk mempermudah mobilitas penduduk dan perdagangan, pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api di Pulau Jawa. Hal ini dilakukan untuk mempercepat hubungan komunikasi dan dagang.
4. Dalam Bidang Mobilitas/Perpindahan Penduduk
Industrialisasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota-kota besar. Berdirinya pabrik-pabrik telah mendorong kehidupan baru dalam masyarakat Indonesia yang sebelumnya bercorak agraris dan maritim. Kota-kota besar, terutama Jakarta dan Surabaya, merupakan tempat tujuan untuk mengadu nasib. 
Untuk memperoleh pegawai-pegawai seperti juru ketik atau tulis yang murah maka pemerintah kolonial membangun sekolah-sekolah kejuruan guna menghasilkan tenaga-tenaga ahli dari pribumi yang upahnya tentu jauh lebih murah jika dibandingkan dengan tenaga ahli dari Eropa. 
Pada 1851, didirikan sekolah dokter pertama di Jawa yang sebenarnya merupakan sekolah untuk mendidik mantri cacar atau kolera yang merupakan penyakit yang sering menjadi wabah di beberapa daerah. Sekolah tersebut kemudian berkembang menjadi STOVIA(School Tot Opleiding Voor Inlandse Aetsen) atau sekolah dokter pribumi. Munculnya sekolah-sekolah ala Eropa di Jawa, menambah alasan penduduk dari Sumatara, Kalimantan, Sulawesi dan tempat lainnya berdatangan ke Jawa. Perpindahan kaum terpelajar tersebut sangat mempengaruhi populasi kota.
5. Dalam Bidang Ekonomi dan Industrialisasi
Salah satu akibat dari munculnya Revolusi Industri yang paling kuat adalah munculnya praktik kapitalisme dalam ekonomi. Ideologi kapitalisme berpendapat bahwa untuk meningkatkan pendapatan perlu ditunjang dengan jumlah modal yang banyak. Hal ini menyebabkan banyak pengusaha datang dari Eropa dengan modal raksasa untuk dapat menguasai ekonomi di Indonesia. Akibatnya, rakyat Indonesia menjadi kuli di rumah sendiri dan para pengusaha menjadi tuan tanah. Praktek ini menjadikan rakyat Indonesia menjadi semakin miskin dan tuan tanah menjadi semakin kaya dengan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
6. Dalam Bidang Politik
Revolusi Industri mengakibatkan lahirnya imperialisme modern. Di Indonesia, paham ini diusung oleh Belanda. Pola perdagangan monopoli yang dipraktikkan oleh VOC menjadikan tersentralisasinya kekuasaan di tangan penguasa asing. Imbas terbesar bagi para penguasa pribumi (Raja dan Sultan) adalah hilangnya kekuasaan sebagai penguasa lokal. Hal ini terjadi karena mereka dijadikan oleh Belanda sebagai pegawai negeri yang mendapat gaji dari pemerintah. Padahal sebelum Belanda masuk, para raja mendapat upeti langsung dari rakyat.

INTERAKSI ANTARA TRADISI LOKAL HINDI-BUDHA DAN ISLAM DI INDONESIA

PERPADUAN DALAM INSTITUSI SOSIAL DAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Bagaimanakah perpaduan yang tampak antara kebudayaan lokal dan kebudayaan asing? Apakah nilai tambah yang diberikan pengaruh asing pada budaya lokal? Berikut penjelasannya.
Indonesia telah memiliki kebudayaan dan kehidupan religius dalam masyarakatnya, bahkan sebelum masuknya ajaran agama dari negara-negara lain. Akulturasi yang terjadi tidak lantas melenyapkan tradisi yang sudah ada sebelumnya, namun justru bertumbuh kembang membentuk tradisi-tradisi baru pada masyarakat. Beberapa bentuk akulturasi tradisi lokal dengan ajaran agama-agama yang masuk ke Indonesia, antara lain:
• Pertunjukan Wayang
Salah satu tradisi yang diwariskan secara turun-temurun di Nusantara adalah pertunjungan wayang. Kesenian ini semula adalah upacara pemujaan arwah nenek moyang, namun setelah masuknya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia, pertunjukan wayang mengalami perubahan fungsi. Di masa Hindu Buddha, pertunjukan wayang banyak menceritakan kisah rakyat, seperti Mahabharata dan Ramayana. Sementara, ketika ajaran Islam masuk ke Indonesia, pertunjukan wayang dijadikan sebagai salah satu media dakwah. Salah satu pemuka agama yang menggunakan wayang untuk penyebaran agama Islam adalah Sunan Kalijaga.
• Kebudayaan
Sebelum masuknya kebudayaan asing di Nusantara, masyarakat telah menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Bahasa Melayu Kuno dan Jawa Kuno adalah bahasa yang paling banyak digunakan di masa itu. Setelah masuknya ajaran Hindu-Buddha, masyarakat beralih menggunakan bahasa Sansekerta dan bahasa Podi. Sedangkan setelah masuknya agama Islam ke Indonesia, masyarakat beralih menggunakan bahasa Arab yang turut menambah perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia kelak.
• Susunan Masyarakat
Kehidupan masyarakat di Nusantara dulunya dibedakan berdasarkan profesi yang dimiliki, namun seiring dengan masuknya Hindu-Buddha di Nusantara, sistem tersebut digantikan dengan susunan masyarakat berdasarkan kasta seperti yang dijumpai di India. Masuknya agama Islam menghapus sistem kasta tersebut.
• Tata Pemerintahan
Masyarakat tradisional Nusantara dipimpin oleh seorang kepala suku dengan sistemPrimus Inter Pares atau yang paling unggul di antara sesamanya. Dengan masuknya ajaran Hindu-Buddha, sistem pemerintahan berganti menjadi sistem kerajaan, dengan Raja sebagai pemimpin yang diakui. Setelah masuknya ajaran Islam, hanya mengubah sedikit hal, seperti gelar Raja yang digantikan dengan sebutan Sultan.
• Sistem Kepercayaan
Sebelum masuknya ajaran agama, masyarakat di Nusantara masih menganut sistem kepercayaan animisme dan dinamisme. Masyarakat yang tersebar di pelosok Nusantara memiliki ritual tersendiri dalam melakukan pemujaan terhadap sosok yang diyakininya. Dengan masuknya agama Hindu-Buddha di Nusantara, sistem kepercayaan bergeser sedikit demi sedikit menjadi sistem penyembahan kepada dewa, baik monotheisme yang hanya menyembah satu dewa atau pun menyembah banyak dewa yaitu politheisme. Masuknya ajaran Islam di Indonesia menghapus sistem kepercayaan kepada Dewa, dan menggantikannya dengan penyembahan kepada Tuhan dan percaya kepada utusannya, Nabi Muhammad SAW.
• Tata Cara Pemakaman
Prosesi pemakaman sesuai dengan ajaran Islam hanyalah kewajiban untuk mensucikan jenazah, mengkafani, dan menguburkannya. Tetapi, dengan adanya akulturasi terhadap budaya lokal, maka diadakan prosesi tambahan, seperti hari peringatan atau selamatan setelah hari kemarian atau pun tahlilan untuk membacakan zikir dan tahlil. Pemasangan nisan adalah juga salah satu warisan kebudayaan tradisional yang telah ada sejak zaman prasejarah.
Dari beberapa contoh akulturasi kebudayaan lokal dengan ajaran agama yang masuk ke Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk kebudayaan baru yang timbul adalah hasil dari percampuran kebudayaan tradisional setempat dengan ajaran baru yang masuk ke Nusantara, seperti Hindu-Buddha dan Islam. Kebudayaan asing dapat diterima oleh masyarakat dan melebur dengan tradisi lokal tanpa menghilangkan identitas tradisi asli Nusantara.

PERPADUAN DALAM ARSITEKTUR 

Proses akulturasi kebudayaan lokal dan ajaran Islam menghasilkan ciri arsitektur unik di Indonesia. Apakah jenis bangunan yang masuk dalam kategori ini? Apakah kebudayaan Hindu-Buddha turut berperan? Berikut penjelasannya.
Dalam setiap era kerajaan Nusantara, baik masa kerajaan Hindu-Buddha maupun kerajaan Islam, terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan setempat. Hal ini dianggap wajar karena masing-masing daerah pasti memiliki kebudayaannya masing-masing, bahkan sebelum masuknya ajaran agama lain. Akulturasi yang terjadi mempengaruhi beberapa bidang, misalnya sastra, tata pemerintahan, dan bahkan arsitektur.
Semasa berdirinya kerajaan Islam di Nusantara, banyak dijumpai bangunan-bangunan dengan corak Islam yang memiliki ciri sesuai dengan daerah tempat ditemukannya peninggalan tersebut. Walaupun arsitektur Islam di Indonesia disebut banyak dipengaruhi kebudayaan Gujarat India, namun corak arsitektur pada beberapa bangunan tetap terlihat mengikuti adat setempat. Arsitektur Islam di Indonesia disebut terpengaruh warna Gujarat tidak terlepas dari ‘Teori Gujarat’ yang mengemukakan bahwa ajaran Islam masuk ke Indonesia melalui perantaraan pedagang-pedagang Gujarat yang melakukan perdagangan di Nusantara. Masyarakat Gujarat sendiri dikenal memeluk agama Hindu sebelum Islam masuk ke India. Karenanya, arsitektur yang mereka miliki juga terpengaruh kebudayaan Hindu.
Perpaduan arsitektur Islam, Hindu-Buddha, dan kebudayaan setempat terlihat jelas pada arsitektur bangunan masjid. Bangunan atap masjid umumnya dibuat berundak-undak atau bertingkat, sedangkan landscape masjid berbentuk persegi panjang dengan serambi pada bagian depan atau samping. Gerbang masjid berbentuk benteng seperti banyak dijumpai pada bangunan-bangunan Hindu-Buddha di Nusantara. Beberapa contoh masjid dengan arsitektur seperti ini, antara lain, Masjid Agung Demak, Masjid Agung Banten, dan Masjid Agung Cirebon. Pada beberapa masjid lainnya dijumpai arsitektur yang terpengaruh oleh nuansa Cina. Masjid dimaksud biasanya didirikan oleh komunitas Tionghoa Muslim yang ada di Indonesia.
Di sekitar masjid, juga dibangun kompleks pemakaman sebagai tempat peristirahatan terakhir raja dan keluarganya serta para wali. Bangunan makam ini dibuat lebih tinggi dari tanah untuk menandakan kedudukan mendiang yang berbeda dengan rakyat biasa. Makam tersebut lazimnya terawat dengan baik dan pada kesempatan-kesempatan khusus akan ramai diziarahi oleh masyarakat luas, tidak hanya dari keturunannya langsung.
Contoh arsitektur lainnya yang terpengaruh akulturasi kebudayaan adalah pembangunan keraton sebagai tempat tinggal raja. Keraton di daerah Jawa dan Sumatera adalah perpaduan antara budaya Islam dengan Hindu-Buddha. Kebudayaan Hindu-Buddha dijumpai pada ornamen-ornamen yang menghiasi gapura di sekeliling keraton, sementara pada gerbang terdapat ragam ukiran yang dipahat dalam bahasa Jawa.
Seni pahat adalah salah satu bagian dari ciri arsitektur yang mengalami akulturasi dengan kebudayaan setempat. Seni pahat diyakini berasal dari daerah Jepara, Jawa Tengah dan mulai dipakai untuk menghiasi bangunan ketika dibangunnya Masjid Mantingan di Jepara. Berkurangnya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia turut mengubah bentuk pahatan masyarakat setempat. Dari semula berbentuk gambar menjadi pahatan yang berbentuk kaligrafi atau seni tulisan indah huruf Arab tanpa garis.

RANGKU

HIPOTESIS DAN POLA PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA

HIPOTESIS PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA

Masuknya ajaran Islam ke Indonesia dapat diketahui dengan merujuk pada beberapa teori. Bagaimanakah asumsi dari teori-teori tersebut? Apakah landasan rasional yang digunakan sebagai dasar teori? Berikut penjelasannya.
Agama Islam adalah salah satu agama yang berkembang di Indonesia dengan banyak campur tangan dari berbagai pihak. Menurut para pakar sejarah, terdapat tiga teori yang menjelaskan penyebaran Islam di Indonesia. Ketiga teori dimaksud memberikan jawaban tentang waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara, dan individu/kalangan yang membawa Islam ke Nusantara. Ketiga teori tersebut adalah:
1) Teori Gujarat
Teori ini menyimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII dan dibawa dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah :
• Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
• Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
• Nisan Sultan Samudera Pasai, Malik Al Saleh, di tahun 1297 yang memiliki corak khas Gujarat.
Teori Gujarat didukung oleh dr. Snouck Hurgronje, W.F Stutterheum, dan Bernard H.M Vlekke. Dalam Teori Gujarat, dasar yang dipakai adalah munculnya kekuasaan politik Islam dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai. Teori Gujarat juga bersumber dari keterangan Marcopolo yang pernah singgah di Perlak pada tahun 1292. Dalam catatan perjalanannya, ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
2) Teori Makkah
Teori Makkah termasuk teori baru yang muncul dan merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat. Teori Makkah menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia di abad VII yang berasal dari Arab (Mesir). Dasar dari teori ini adalah:
• Pada abad VII di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam yang didirikan oleh para pedagang Arab. Teori ini didukung fakta bahwa para pedagang Arab sudah mendirikan kampung dagang di Kanton dan di daerah lain yang mereka lintasi untuk berdagang sejak abad IV.
• Kerajaan Samudera Pasai disebut menganut aliran Mazhab Syafi’i. Penganut ajaran Mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah, sedangkan di India yang berkembang pesat adalah Mazhab Hanafi.
• Raja Samudera Pasai menggunakan gelar Al Malik, gelar yang sama dengan yang dipakai oleh bangsawan Mesir. 
Teori Makkah didukung oleh Hamka, Van Leur, dan T. W Arnold. Menurut Teori Makkah, ajaran Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad VII, namun baru berubah menjadi sebuah kekuatan politik di abad XIII melalui Kerajaan Samudera Pasai.
3) Teori Persia
Teori Persia didasarkan pada persamaan antara budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam-Indonesia. Teori Persia menyatakan bahwa ajaran Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Dasar teori ini adalah:
a) Kesamaan ajaran sufi yang dianut Syeikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran, Al-Hallaj.
b) Penggunaan istilah bahasa Iran dalam pengejaan huruf Arab untuk tanda bunyi Harakat. 
c) Persamaan kebudayaan dalam memperingati 10 Muharram. Di Sumatera Barat diperingati sebagai Upacara Tabuik dan di Pulau Jawa disebut dengan Syuro. Sementara di Iran, diperingati sebagai hari meninggalnya Hasan dan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.
Ketiga teori di atas memiliki argumentasi yang sama-sama kuat, namun dari ketiganya diperoleh persamaan bahwa ajaran Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai. Ajaran Islam masuk pada awal abad VII dan berkembang mencapai puncaknya pada abad XIII. Puncak perkembangan ajaran Islam ditandai dengan munculnya kekuasaan kerajaan Islam di Nusantara.
Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Perlak, dan Kerajaan Demak adalah beberapa dari sekian banyak kerajaan Islam yang berkembang di Nusantara. Kerajaan-kerajaan tersebut memiliki hubungan erat dengan pedagang-pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat (India). Hal inilah yang turut membawa kemajuan bagi masuknya ajaran Islam di Indonesia.

POLA PENYEBARAN AGAMA ISLAM 

Agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia disebarkan dengan berbagai metode. Bagaimanakah pola penyebaran Islam di Nusantara? Bagaimanakah dampak penyebaran Islam di masyarakat? Berikut penjelasannya.
Perkembangan agama Islam menjadi salah satu kekuatan politik di Nusantara terjadi pasca runtuhnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha. Banyak teori yang mencoba menjelaskan proses penyebaran agama Islam di Indonesia hingga berkembang menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia saat ini. Dari beberapa teori yang dikemukakan, disimpulkan beberapa saluran penyebaran agama Islam di Indonesia, antara lain:
1) Jalur Perdagangan
Nusantara adalah salah satu wilayah yang menjadi jalur perdagangan dunia. Posisi geografis yang baik menjadi daya tarik tersendiri bagi pedagang-pedagang dari negara lain untuk singgah ke Indonesia dan melakukan kegiatan perdagangan. Termasuk di antaranya adalah pedagang-pedagang dari Gujarat, India, Mesir, dan Persia yang telah melakukan kontak dagang di wilayah Nusantara sejab abad VII. Kegiatan perdagangan yang dilakukan berlangsung dalam waktu cukup lama, sehingga banyak dijumpai perkampungan-perkampungan Islam yang didirikan oleh pedagang tersebut sebagai tempat tinggal sementara. Selama masa tinggalnya ini, sebagai penganut Islam, mereka diyakini menyampaikan dakwah, sekaligus mengajarkan Islam dan kebudayaannya kepada masyarakat di Nusantara. Hal inilah yang turut membantu proses penyebaran agama Islam di Nusantara.
2) Perkawinan
Dari beberapa pedagang Islam yang berdiam sementara di Indonesia, beberapa di antaranya memutuskan untuk menetap. Sebagai bukti, di beberapa kota di Indonesia, terdapat Kampung Pekojan sebagai tempat tinggal para pedagang Gujarat. Sebagian dari pedagang ini kemudian menikahi penduduk setempat, umumnya adalah putri raja atau bangsawan. Proses perkawinan tersebut turut mempercepat masuknya Islam ke Indonesia karena setelah perkawinan dilakukan, banyak keluarga raja dan bangsawan yang lantas memilih masuk Islam.
3) Pendidikan
Perkembangan Islam yang terbilang cepat turut memunculkan beberapa tokoh pendidik yang mendirikan pondok-pondok pesantren untuk menyebarkan agama Islam. Mereka ini disebut dengan ‘mubalig’ atau ‘ulama’. Lembaga yang mereka dirikan memberikan didikan bagi pemuda-pemudi seputar agama Islam dan kebudayaannya. Setelah dianggap mahir, maka pemuda-pemudi tadi akan kembali ke masyarakat untuk mengajarkan apa yang diketahuinya kepada masyarakat di lingkungan tempat tinggal. Proses dimaksud juga turut mempercepat penyebaran Islam di Nusantara. Beberapa pesantren yang ada di Pulau Jawa diketahui dibangun pada masa Wali Songo, seperti Pesantren Sunan Ampel dan Pesantren Sunan Giri.
4) Pemerintahan
Di masa kerajaan, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Karenanya jika seorang raja telah memeluk agama Islam melalui sebuah perkawinan, maka rakyat akan cenderung mengikuti kepercayaan raja yang dijadikan panutan.
5) Seni Budaya
Dari perkawinan yang dilakukan dengan penduduk setempat, maka akan terjadi percampuran dengan kebudayaan lokal. Hal ini banyak dijumpai di daerah Yogyakarta, Solo, dan Cirebon pada relief bangunan, seni pahat, seni tari, musik, serta sastra. Ajaran Islam berusaha untuk dapat seakrab mungkin dengan budaya setempat.
6) Tasawuf
Seorang sufi lazimnya dikenal dengan keserhanaan. Mereka menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah masyarakat. Para sufi biasanya memiliki keahlian dalam membantu masyarakat dan menyebarkan agama Islam. Para Sufi pada masa awal, di antaranya Hamzah Fansuri di Aceh dan Sunan Panggung di Jawa. Melalui tasawuf, agama Islam dapat berkembang pesat dan diterima masyarakat dengan baik pada abad XIII. Faktor-faktor yang turut membantu ajaran Islam cepat bekembang di Indonesia, antara lain: 
• Syarat masuk Islam hanya dilakukan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
• Tata cara beribadahnya Islam sangat sederhana. 
• Agama yang menyebar ke Indonesia disesuaikan dengan kebudayaan Indonesia.
• Penyebaran Islam dilakukan secara damai.
7) Peranan Para Wali
Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (Wali Sembilan). Wali ialah orang yang telah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Para wali ini umumnya dekat dengan kalangan istana dan bertugas untuk memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta.
Kedekatan dengan kalangan istana adalah salah satu alasan mereka digelari Sunan atau Susuhunan (Junjungan Tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah:
1) Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Wali yang pertama datang ke Jawa pada abad XIII dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. 
2) Sunan Ampel (Raden Rahmat), menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.
3) Sunan Drajat (Syarifudin), anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya.
4) Sunan Bonang (Makdum Ibrahim), anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. 
5) Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said), murid dari Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. 
6) Sunan Giri (Raden Paku), menyiarkan Islam di luar Pulau Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. 
7) Sunan Kudus (Jafar Sodiq), menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Beliau merupakan perancang dari Mesjid dan Menara Kudus.
8) Sunan Muria (Raden Umar Said), menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. 
9) Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon.

STRUKTUR BIROKRASI DAN HUKUM DI KERAJAAN BERCORAK ISLAM

STRUKTUR BIROKRASI DAN HUKUM DI KERAJAAN BERCORAK ISLAM
Bagaimanakah birokrasi di kerajaan bercorak Islam? Bagaimanakah pelaksanaan hukum di kerajaan Islam? Apakah fungsi syari’at Islam? Berikut penjelasannya.
Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia adalah bagian dari kekuatan besar kerajaan-kerajaan Islam di dunia. Kerajaan Islam di Indonesia pada masa kejayaan Kerajaan Demak sangat diperhitungkan di kawasan Asia Timur, bersama dengan Kerajaan Malaka di Semenanjung Malaysia. Indonesia memiliki jejak kerajaan Islam di hampir seluruh pulau di Nusantara, dengan Pulau Jawa sebagai basis terbesar kerajaan Islam.
Kekuatan kerajaan Islam di Nusantara adalah era baru yang terjadi pasca runtuhnya kekuasaan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia. Kesamaan tata pemerintahan dan kebiasaan kerap terlihat antara dua era kerajaan ini. Namun, dapat disimpulkan bahwa kerajaan Islam lebih condong mengikuti ajaran Islam dalam melaksanakan tata pemerintahannya. Berikut adalah beberapa ciri khusus yang dijumpai di masa Kerajaan Islam di Nusantara.
1. STRUKTUR BIROKRASI
Mengkaji birokrasi, maka akan membahas tata cara yang dijumpai seputar kekuasaan dan kehidupan bernegara. Beberapa di antaranya adalah:
• Pengangkatan Raja
Dalam kerajaan Islam, pengangkatan raja umumnya diatur dalam sebuah hukum adat, sesuai dengan lokasi dimana kerajaan berdiri. Hukum adat yang mengatur pengangkatan seorang raja dijumpai di beberapa daerah seperti di Aceh yang mencantumkan tata cara pengangkatan Raja dalam peraturan yang disebut Makuta Alam. Aturan yang dirumuskan semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda ini mengatur tata cara pengangkatan dan penobatan Sultan berikutnya. 
Hal serupa juga dijumpai di Demak ketika Wali Songo mengangkat Raden Patah sebagai pemimpin Kerajaan Demak. Mereka sepakat menobatkan Raden Patah setelah menilai kesanggupannya dalam menjalankan syari’at Islam sebagai dasar pemerintahannya. Pada masa itu, pelantikan seorang raja atau sultan dilakukan dengan memegang Alquran selama penobatannya.
• Tata Pemerintahan
Kekuasaan Sultan atau Raja di masa kerajaan Islam Indonesia dibantu oleh pangeran atau pun panglima. Pembantu raja ini umumnya mendapatkan kehormatan untuk menjalankan tugas-tugas rutin pemerintahan. Sementara untuk pengawas pelaksanaan kekuasaan, dipilihlah beberapa orang dari alim ulama, kadi, maupun golongan lain yang paham tentang ajaran Islam untuk memberikan masukan kepada pemimpin tentang kebijakan yang akan diambilnya.
• Birokrasi Daerah
Dalam menjalankan kekuasaannya di daerah, pemimpin kerajaan akan mengangkat beberapa pejabat untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan di daerah. Mereka juga diserahi tugas untuk mengumpulkan pasukan ketika kerajaan dalam status perang.
2. STRUKTUR HUKUM
Hukum Islam atau hukum syari’at adalah hukum yang diterapkan di masa kerajaan Islam. Hukum Islam yang diterapkan terbagi menjadi dua peradilan dalam kerajaan, yaitu peradilan yang mengurusi masalah keagamaan atau bagi pelanggar yang bertentangan dengan hukum Islam serta peradilan yang berurusan dengan masalah kemasyarakatan. Dengan pelaksanaan hukum Islam di kerajaan, maka beberapa pelanggaran spesifik telah tegas ketentuannya seperti pernikahan, hukum talak, hukum pidana, dan peraturan perdagangan. Untuk memastikan berjalannya hukum dalam kerajaan, maka Raja atau Sultan mengangkat Dewan Kehakiman untuk memberikan penilaian terhadap pelanggaran.

KONSEP KEKUASAAN KERAJAAN BERCORAK ISLAM

KONSEP KEKUASAAN KERAJAAN BERCORAK ISLAM

Era kerajaan Islam di Indonesia berawal dari takluknya kerajaan Hindu-Buddha terakhir. Bagaimanakah konsep pembagian kekuasaan di kerajaan bercorak Islam? Bagaimanakah perbedaannya dengan konsep yang berlaku di kerajaan Hindu-Buddha? Berikut penjelasannya.
Masa kerajaan Islam di Nusantara berlangsung setelah terjadinya penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu terakhir yang ditaklukkan oleh kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, yakni Kerajaan Demak. Dengan rentang pergantian era yang singkat, maka tidak keliru jika dikatakan bahwa kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara mengalami akulturasi dengan konsep kekuasaan kerajaan-kerajaan Hindu.
Dalam kerajaan Islam, seperti halnya di kerajaan Hindu-Buddha, raja yang berkuasa dipercayai memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan rakyatnya. Penguasa tersebut memiliki hak untuk menciptakan hukum dan menganggap bahwa kekuasaan yang dimiliknya diperoleh berdasarkan wangsit atau pulung. Khusus pada kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa, banyak raja yang menganggap dirinya beristrikan Nyi Roro Kidul, yang digambarkan sebagai penguasa Laut Selatan dengan kekuasaan atas lautan yang sangat luas. Penguasa di masa kerajaan Islam jarang menyebut dirinya atau digelari sebagai raja, mereka lebih sering menggunakan gelar seperti Sunan, Sultan, atau pun Susuhunan. Tidak jarang mereka mengangkat dirinya sebagai Khalifah atau penguasa kaum muslimin dan muslimat.
Pada masa kerajaan Islam, penguasa selalu didampingi oleh penasihat raja. Bila pada masa Hindu-Buddha, para penasihat disebut sebagai brahmana, maka pada masa kerajaan Islam disebut dengan Wali, Sunan, atau pun Kiai. Karena di masa kerajaan Islam, hukum yang berlaku adalah hukum Islam, maka penasihat raja umumnya adalah orang yang mahir dalam bidang agama. Tidak jarang, penasihat raja adalah sosok yang melantik raja untuk pertama kalinya. Hal ini dijumpai di Kerajaan Demak ketika Wali Songo menobatkan Raden Patah sebagai penguasa pertama Demak dengan pertimbangan bahwa Raden Patah dapat mengemban tugas untuk menjadikan Demak sebagai pusat penyebaran Islam di Pulau Jawa.
Untuk melegitimasi kekuasaan yang dimilikinya, seorang penguasa di masa kerajaan Islam memiliki beberapa benda pusaka yang mereka yakini disampaikan kepadanya melaluiwangsit atau pulung. Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa memiliki benda pusaka yang diambil dari Istana Majapahit pasca penaklukan. Namun, pengambilalihan benda pusaka ini tidak dilakukan begitu saja, melainkan dikuasai terlebih dahulu oleh Sunan Giri sebagai bagian dari ritual yang dipercayai dapat menolak malapetaka. Salah satu bentuk lain dari legitimasi yang dilakukan adalah dengan menuliskan cerita-cerita rakyat seputar tahta kerajaan tersebut. Sastra rakyat itu kemudian diceritakan turun-temurun oleh masyarakat dengan harapan dapat mewariskan budi baik yang dimiliki oleh penguasa kepada masyarakat.
Berhubungan dengan suksesi kekuasaan, konsep di kerajaan Islam hampir sama dengan konsep kerajaan di masa Hindu-Buddha. Kekuasaan diwariskan secara turun-temurun pada keturunan yang berada satu garis dari penguasa sebelumnya. Kekuasaan ini diperjelas dengan penyusunan silsilah politik yang dilakukan oleh anggota kerajaan yang ditunjuk oleh penguasa.

Kerajaan Ternate dan Tidore

KERAJAAN TERNATE DAN TIDORE 

Kerajaan Ternate dan Tidore adalah dua dari empat kerajaan besar yang berdiri di Kepulauan Maluku. Bagaimanakah keberadaan Kerajaan Ternate dan Tidore? Bagaimanakah campur tangan Portugis dan Spanyol terhadap pemerintahan Kerajaan Ternate dan Tidore? Berikut penjelasannya.
Kerajaan Ternate dan Tidore adalah dua dari empat kerajaan besar yang berdiri di Kepulauan Maluku, selain Kerajaan Jailolo serta Kerajaan Bacan. Keempat kerajaan ini berdiri pada abad XIV dan berasal dari satu keturunan, yakni Jafar Sardik, seorang berkebangsaan Arab yang diyakini sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Letak geografis Kerajaan Ternate dan Tidore berpengaruh pada posisinya dalam perdagangan dunia saat itu. Terlebih, Kepulauan Maluku dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah terbesar. Hubungan dagang dengan sejumlah bangsa yang datang turut membantu persebaran agama Islam di daerah ini.
Di awal perkembangannya, Kerajaan Ternate dan Tidore terlibat pertempuran untuk memperebutkan wilayah. Hal ini dikarenakan dorongan dari bangsa asing yang masuk ke wilayah masing-masing. Portugis memilih untuk memihak Kerajaan Ternate, sementara Spanyol memihak Kerajaan Tidore. Perselisihan baru dapat terselesaikan atas campur tangan Paus dalam Perjanjian Saragosa yang mengatur bahwa bangsa Spanyol harus meninggalkan Maluku dan pindah ke Filipina, sementara Portugis tetap berada di Maluku.
Pendudukan Portugis sendiri tidak berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Setelah pendirian Benteng Santo Paolo di Ternate, Portugis semakin sewenang-wenang memberlakukan monopoli dagang. Pada tahun 1575, lewat serangan yang disusun oleh Sultan Baabullah, Portugis berhasil dikalahkan dan diusir keluar Maluku.
Perkembangan Islam di Ternate dan Tidore telah berlangsung sejak abad XIII saat pusat perdagangan dunia berada di wilayah dimaksud. Saudagar-saudagar yang berasal dari Arab, India, dan Persia kerap datang untuk melakukan perdagangan sehingga akhirnya membentuk beberapa perkampungan pedagang yang memungkinkan mereka melakukan syiar Islam di Maluku, terutama Ternate dan Tidore.
1. KERAJAAN TERNATE
Ibukota Kerajaan Ternate terletak di Sampalu (Pulau Ternate). Raja Ternate yang pertama adalah Sultan Marhum, yang kemudian digantikan oleh putranya, Zainal Abidin. Pada masa pemerintahannya, Zainal Abidin giat menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau sekitar, bahkan hingga ke Filipina Selatan. Zainal Abidin memerintah hingga tahun 1500 M. Setelah ia mangkat, pemerintahan di Ternate berturut-turut dipegang oleh Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mengalami puncak kejayaan. Wilayah Kerajaan Ternate meliputi Mindanao, seluruh kepulauan di Maluku, Papua, dan Timor. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga tersebar sangat luas.
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Ternate dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam. Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Hairun dari Ternate, bersama De Mesquita yang mewakili Portugis, melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah di bawah Kitab Suci Al-Qur’an.
2. KERAJAAN TIDORE
Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Raja Ternate pertama adalah Muhammad Naqal yang naik tahta pada tahun 1081. Agama Islam masuk ke Kerajaan Tidore dibawa oleh Ciriliyah, Raja Tidore yang kesembilan. Ciriliyah atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab.
Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805), yang dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda pun kemudian dapat diusir dari Tidore dan Ternate, sementara Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa.

Kerajaan Gowa-Tallo

KERAJAAN GOWA-TALLO

Bagaimanakah hubungan Kerajaan Gowa-Tallo di Makassar dengan Portugis? Bagaimanakah perjuangan Kerajaan Gowa-Tallo melawan monopoli VOC? Berikut penjelasannya.
Kerajaan Gowa-Tallo adalah bagian dari sebuah kerajaan besar yang disebut Kerajaan Makassar dengan corak agama Islam. Sebelumnya, kerajaan yang terletak di bagian timur Nusantara ini bercorak Hindu, sama dengan beberapa kerajaan lain di wilayah tersebut, seperti Wajo, Bone, Soppeng, dan Luwu. Letak Kerajaan Gowa-Tallo cukup strategis sebagai penghubung pelayaran dari Selat Malaka dan Pulau Jawa ke daerah Maluku. Posisi pelabuhan di Makassar bahkan mampu mengambil alih peranan Kerajaan Mataram sebagai pelabuhan perdagangan di masa itu, ditambah dengan keahlian penduduk dalam membangun kapal besar, yaitu Phinisi dan Lambo.
Kerajaan-kerajaan di Makassar mulai membentuk persekutuan pada tahun 1528 dengan membentuk kerajaan baru yang disebut Kerajaan Makassar. Nama Makassar diambil dari ibukota Kerajaan Gowa dan sampai sekarang masih digunakan sebagai nama ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Kerajaan mulai mengenal agama Islam melalui dakwah dari Dato’ri Bandang dan Dato’ Sulaiman. Perlahan masyarakat mulai memeluk agama Islam dan mengubah corak kerajaan dari Hindu ke Islam.
Raja Makassar pertama yang memeluk agama Islam adalah Karaeng Ma’towaya Tumamenanga Ri Agamanna (Raja Gowa) dengan gelar Sultan Alaudin dan memerintah di Makassar pada tahun 1591-1638 dengan bantuan Daeng Manrabia (Raja Tallo) yang bergelar Sultan Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin, Kerajaan Makassar berkembang sebagai kerajaan maritim. Kerajaan Makassar mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669). Di masa pemerintahannya, Makassar memperluas wilayah kekuasaan dengan menguasai daerah-daerah yang dapat membantu kepentingan perdagangan. Beberapa di antaranya adalah daerah Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone, bahkan hingga Nusa Tenggara Barat.
Sultan Hasanuddin dikenal sebagai raja yang anti terhadap dominasi asing. Oleh karenanya, ia menolak monopoli yang berusaha dilakukan VOC di Makassar setelah melakukan strategi serupa di Maluku. Penolakan tersebut menimbulkan pertentangan antara Sultan Hasanuddin dengan VOC yang mengakibatkan perang di daerah Maluku. Perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Hasanuddin dihadapi Belanda dengan mengadu domba Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Bone di bawah pimpinan Aru Palaka. Dalam serangan berikutnya yang dilakukan, Belanda dapat menguasai ibukota Kerajaan Makassar, Benteng Borombong, dan ibukota Kerajaan Sombaopu. Hal ini memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang mengatur beberapa hal berikut:
1. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makassar.
2. Belanda dapat mendirikan benteng di Makassar.
3. Kerajaan Makassar melepaskan daerah-daerah jajahannya, seperti Kerajaan Bone dan pulau-pulau lain di luar Makassar.
4. Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.
Perjanjian Bongaya membawa dampak besar bagi Kerajaan Makassar karena mengakibatkan hilangnya kekuasaan dan wewenang Makassar untuk mengatur pelayaran dan perdagangan di daerahnya. Dalam tindakannya memperlemah Kerajaan Makassar, pasca Perjanjian Bongaya, Belanda menghancurkan Benteng Sombaopu dan menguasai Benteng Ujung Pandang dengan mengganti namanya menjadi Fort Rotterdam. Perlawanan yang dilakukan oleh putra Sultan Hasanuddin, Mapasomba, tidak dapat mengimbangi kekuatan militer Belanda.
Beberapa peninggalan sejarah yang dapat dijumpai dari Kerajaan Makassar, di antaranya:
• Masjid Katangka, didirikan pada tahun 1605 dan menjadi bangunan mesjid tertua di wilayah Gowa.
• Kompleks Makam Raja Gowa-Tallo, mulai digunakan sejak abad ke-17 hingga abad ke-19.
• Fort Rotterdam, dinamai setelah pendudukan yang dilakukan Belanda atas Kerajaan Makassar. Sebelumnya bernama Benteng Ujung Pandang dan disempurnakan pembangunannya semasa pemerintahan Sultan Alaudin.

Kerajaan Banten

KERAJAAN BANTEN 

Bagaimanakah asal mula berdirinya Kerajaan Banten? Bagaimanakah perjuangan Kerajaan Banten terhadap cengkraman VOC? Berikut penjelasannya.
Kerajaan Banten adalah salah satu kerajaan Islam yang berada di wilayah Nusantara. Kerajaan Banten didirikan oleh Syarif Hidayatullah, yang kelak dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Bermula dari daerah di wilayah kekuasaan Kerajaan Padjajaran, Syarif Hidayatullah melakukan perebutan kekuasaan pada tahun 1526 untuk menguasai bagian barat pantai Jawa, sekaligus menundukkan Kerajaan Padjajaran. Penaklukan Kerajaan Padjajaran dilakukan setelah adanya penolakan dari penguasa atas penyebaran agama Islam di wilayah kerajaan. Penaklukan dipimpin oleh Syarif Hidayatullah, bersama pasukan Kerajaan Demak dan Kerajaan Cirebon.
Setelah jatuhnya Kerajaan Padjajaran dan Pelabuhan Sunda Kelapa, wilayah Banten masih tetap menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Demak. Barulah ketika Sultan Hadiwijaya memimpin Demak, Banten berkembang menjadi kesultanan terpisah. Raja pertama Banten adalah putra dari Syarif Hidayatullah, yaitu Maulana Hasanuddin. Di masa pemerintahannya, agama Islam mendapatkan porsi persebaran yang sangat luas. Selain itu, dengan memanfaatkan Pelabuhan Sunda Kelapa, kegiatan perdagangan juga berkembang pesat. Kerajaan Banten tercatat memiliki hubungan baik dengan Kerajaan Indrapura di Sumatera, yang ditandai dengan pernikahan politik antara Maulana Hasanuddin dengan putri dari Raja Indrapura. Berangsur, Kerajaan Banten berhasil menaklukkan Kerajaan Padjajaran secara penuh di bawah pimpinan Maulana Yusuf, pasca penaklukan Pakuan pada tahun 1579.
Kerajaan Banten mengalami kekosongan kekuasaan, ketika pada tahun 1589, Raja Maulana Hasanuddin gugur dalam sebuah serangan ke Kerajaan Palembang. Kekosongan kekuasaan disiasati dengan pembentukan badan perwalian oleh Jayanegara dan Nyai Emban Rangkung. Pada masa ini, armada dagang Belanda tiba untuk pertama kalinya di kerajaan Banten dipimpin oleh Cornelis de Houtman.
Kedatangan armada Belanda (VOC) berusaha untuk diusir dari wilayah Kerajaan Banten pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Sadar dengan keterbatasan kekuatan militer yang dimiliki jika melakukan konfrontasi, maka Sultan memerintahkan perampokan dan perusakan perkebunan Belanda untuk melemahkan perdagangan Belanda. Semasa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kerajaan Banten mengalami perkembangan pesat sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di Nusantara. Beberapa kebijakan yang diambil oleh Sultan semasa pemerintahannya, antara lain:
1) Memajukan perdagangan Banten dengan memperluas daerah kekuasaan kerajaan.
2) Menjadikan Banten sebagai bandar internasional dengan Pelabuhan Sunda Kelapa sebagai bandar perdagangan utama.
3) Modernisasi bangunan istana dengan arsitek Lukas Cardeel.
4) Membangun armada laut.
Pada tahun 1671, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkotanya, Sultan Abdul Kahar atau Sultan Haji sebagai Raja Muda. Sultan Haji berperan menjalankan kebijakan pemerintahan sehari-hari di bawah pengawasan Sultan Ageng Tirtayasa. Sayangnya, wewenang yang dimiliki ini malah mendekatkan hubungan Sultan Haji dengan Belanda (VOC). Dengan kedekatan yang dimiliki, VOC mulai mengambil peran dalam pemerintahan Kerajaan Banten. Beberapa keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Sultan Haji kerap dipengaruhi oleh VOC. Hal ini kemudian menimbulkan perpecahan di internal kerajaan Banten, setelah Sultan Ageng Tirtayasa berniat mencabut mandat kekuasaan dari Sultan Haji yang dinilai telah menyimpang dari tujuan perjuangan awal dan melantik Pangeran Purbaya, putra keduanya, sebagai putra mahkota. Tindakan tersebut ditentang oleh Sultan Haji yang mendapat dukungan dari Belanda setelah menandatangani perjanjian pada tahun 1682 yang mengatur beberapa hal, seperti:
• Belanda mengakui Sultan Haji sebagai Sultan Kerajaan Banten.
• Banten harus melepaskan tuntutannya atas Cirebon dan tidak boleh melakukan perdagangan di daerah Maluku.
Pada tahun 1683, atas bantuan dari pihak Belanda, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan dipenjarakan di Batavia. Sultan wafat pada tahun 1692, sekaligus menjadikan Kerajaan Banten sebagai wilayah kekuasaan Belanda. Pangeran Purbaya sendiri berhasil meloloskan diri sebelum kemudian tertangkap oleh Untung Suropati, seorang utusan Belanda, pada tahun 1689.

Kerajaan Mataram Islam

KERAJAAN MATARAM ISLAM 

Bagaimanakah proses berdirinya Kerajaan Mataram di Yogyakarta? Bagaimanakah perjalanan Kerajaan Mataram hingga mencapai puncak kejayaah? Apakah faktor di balik kemunduran Kerajaan Mataram? Berikut penjelasannya.
Kerajaan Mataram didirikan pada tahun 1582 di Kotagede yang terletak di sebelah tenggara Yogyakarta. Kerajaan Mataram dinilai memiliki peran yang luas terhadap perkembangan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara. Kerajaan Mataram bermula dari sebuah wilayah yang menjadi bagian dari kekuasaan Kesultanan Pajang. Geliat untuk membuka wilayah kerajaan baru bermula setelah diserahkannya Mataram kepada Ki Ageng Pamanahan oleh penguasa Kesultanan Pajang saat itu, Arya Penangsang. Ki Ageng Pamanahan kemudian membangun pemukiman baru di wilayah, namun mendapat tanggapan yang kurang bersahabat dari penguasa setempat. Reaksi tersebut tidak menyurutkan tekad Ki Ageng Pamanahan yang tetap melanjutkan pembangunan di daerah tersebut, sembari mempersiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang kehadiran Mataram.
Pada tahun 1575, sepeninggal Ki Ageng Pamanahan, cita-cita untuk membuka wilayah baru dilanjutkan oleh putranya, Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Upaya ini menimbulkan peperangan antara Sutawijaya dan Kesultanan Pajang. Kekalahan Kesultanan Pajang dalam peperangan, melancarkan tekad Sutawijaya membentuk kerajaan baru di wilayah Kesultanan Pajang dengan nama Kerajaan Mataram. Sutawijaya mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga. Kerajaan mulai dibangun dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Kotagede. Perluasan wilayah mulai dilakukan hingga mencapai Madiun, Kediri, Jipang, Pasuruan, dan Tuban. Penaklukan dilakukan untuk menjadikan Kerajaan Mataram sebagai pusat kebudayaan dan agama Islam, sekaligus pelanjut cita-cita Kesultanan Demak.
Kejayaan Kerajaan Mataram berlangsung di bawah kepemimpinan rajanya yang ketiga, Pangeran Jatmiko yang diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Kerajaan Mataram berada di Yogyakarta. Kekuatan militer Mataram berkembang menjadi sangat kuat, seiring dengan penaklukan wilayah-wilayah lain di Pulau Jawa, seperti Kediri, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Pada tahun 1615, Kerajaan Mataram berhasil menundukkan seluruh daerah Jawa Timur. Di akhir tahun 1627, Kerajaan Mataram telah berhasil menguasai seluruh Pulau Jawa, kecuali Kesultanan Banten dan Batavia yang berada di bawah kekuasaan VOC.
Menganggap kekuatan militernya sudah cukup untuk menginvasi wilayah kekuasaan VOC, Sultan Agung Hanyakrakusuma mempersiapkan pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Bahureksa dan Tumenggung Sura Agul-Agul untuk mengepung Batavia tahun 1628. Penyerbuan yang dilakukan mengalami kegagagalan, bahkan Tumenggung Bahureksa gugur dalam pertempuran. Pada tahun 1629, serangan kembali dilakukan oleh pasukan Mataram dengan dipimpin Ki Ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, dan Ki Ageng Puger. Serangan ditujukan kepada benteng Belanda, Hollandia, Bommel, dan Weesp, namun serangan berhasil dipatahkan oleh pasukan Belanda. Kegagalan dalam serangan yang dilakukan oleh Kerajaan Mataram, di antaranya, disebabkan oleh beberapa hal:
• Jarak yang ditempuh pasukan Mataram terlalu jauh untuk mencapai Batavia sehingga mengurangi daya tahan prajurit ketika bertempur.
• Kekurangan logistik dan persenjataan.
• Tidak adanya kerja sama dengan Kerajaan Banten sebagai kerajaan terdekat di Batavia untuk merancang rencana penyerbuan ke wilayah kekuasaan Belanda.
• Batalnya bantuan militer dari Portugis untuk menghadapi Belanda.
Pasca kegagalan serangan militer kedua Mataram untuk merebut Batavia, kerajaan mengalami kemunduran karena kekurangan pasukan untuk menjaga wilayah kekuasaan yang ada. Akibatnya, satu demi satu wilayah Mataram memisahkan diri. Kerajaan Mataram memiliki sejumlah peninggalan budaya yang masih dapat dijumpai hingga kini, antara lain:
1. Kebudayaan Kejawen, yakni bentuk akulturasi dari kebudayaan asli Jawa dengan ajaran Islam. Beberapa upacara adat Jawa yang semula adalah bentuk pemujaan berubah menjadi ritual dengan menggunakan doa-doa sesuai ajaran Islam.
2. Perhitungan Tarikh Jawa, yaitu sistem perhitungan tahun berdasarkan adat Jawa yang disusun oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma.
3. Perkembangan Kesusastraan Jawa, yang terjadi pada masa kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Beliau bahkan mengarang kitab berjudul Sastra Gending yang berisi filsafat kehidupan dan kenegaraan.

Kerajaan Demak

KERAJAAN DEMAK 

Apakah corak agama yang mempengaruhi Kerajaan Demak? Bagaimanakah hubungan yang dimiliki Kerajaan Demak dengan Kerajaan Majapahit? Berikut penjelasannya.
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Raden Patah diketahui sebagai bangsawan Kerajaan Majapahit yang diberi jabatan sebagai Adipati di Demak. Kerajaan Demak mendapat peneguhan dari Wali Songo yang secara langsung menyepakati dan menobatkan Raden Patah sebagai Sultan Demak pertama. Pasca penobatan sebagai Sultan, Raden Patah dengan bantuan dari pimpinan daerah-daerah lain yang telah terlebih dahulu menganut Islam seperti Jepara, Tuban, dan Gresik, memutuskan ikatan dengan Kerajaan Majapahit.
Terletak di tepi pantai utara Pulau Jawa, Kerajaan Demak adalah kerajaan pertama yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan ajaran Islam. Di bawah pemerintahan Raden Patah, Kerajaan Demak memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di pesisir Pulau Jawa, seperti Lasem, Tuban, Sedayu, Gresik, Cirebon, dan Banten. Salah satu landmark dari Kerajaan Demak saat itu adalah Mesjid Agung Demak, yang menjadi lokasi para Wali Songo dan pimpinan Kerajaan Demak mengadakan pertemuan untuk membahas perluasan kekuasaan dan kegiatan dakwah Islam ke seluruh Pulau Jawa.
Beberapa raja yang pernah memerintah di Kerajaan Demak dan membawa kejayaan, antara lain:
1) Raden Patah
Raden Patah atau dikenal dengan nama Pangeran Jimbun adalah keturunan terakhir dari raja terakhir Majapahit. Raden Patah mendalami Islam setelah mendapatkan kunjungan dari utusan Kaisar Cina, Laksamana Cheng Ho, yang dikenal sebagai seorang panglima beragama Islam. Beliau mendalami ajaran Islam bersama dengan pemuda lainnya, seperti Raden Paku (Sunan Giri), Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kosim (Sunan Drajat). Setelah dianggap mampu mengamalkan ajaran Islam, Raden Patah dipercayai untuk menetap di daerah Bintara, yang direncanakan oleh Wali Songo sebagai pusat kerajaan Islam di Jawa. 
Memerintah di kurun waktu 1500-1518, Raden Patah membentuk Demak sebagai kerajaan agraris-maritim. Pada masa pemerintahannya, dilakukan penaklukan terhadap Kerajaan Majapahit dengan memindahkan seluruh benda upacara dan pusaka Kerajaan Majapahit ke Demak. Kerajaan Demak di bawah Raden Patah menjalin hubungan yang baik dengan Kerajaan Malaka, namun hubungan terputus ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. 
2) Adipati Unus
Memerintah setelah wafatnya Raden Patah pada kurun waktu 1518-1521, Adipati Unus adalah pemimpin yang ditugasi Raden Patah untuk melakukan serangan terhadap Portugis yang menguasai Kerajaan Malaka. Masa pemerintahan Adipati Unus tidak berlangsung lama, karena ia lantas meninggal dalam usia yang relatif muda. 
3) Sultan Trenggana
Memerintah Kerajaan Demak pada kurun waktu 1521-1546, ia berhasil membawa Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaan. Bukti utama adalah perluasan daerah kekuasaan Kerajaan Demak hingga ke daerah Jawa Barat di bawah pimpinan Fatahillah. Daerah yang berhasil dikuasai, antara lain, Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Serangan yang dilakukan ke Jawa Barat lebih kepada upaya untuk menggagalkan hubungan yang ingin dijalin Portugis dengan Kerajaan Padjajaran.
Kerajaan Demak mengalami kemunduran pasca wafatnya Sultan Trenggana karena munculnya perang perebutan kekuasaan di antara para ahli waris untuk merebut tahta. Perang saudara berakhir setelah naiknya Jaka Tingkir sebagai Raja dan penobatannya dilakukan oleh Sunan Giri. Setelah menjadi Raja, Jaka Tingkir diberi gelar Sultan Handiwijaya dan memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Demak ke Pajang pada tahun 1568.

Kerajaan Aceh

 KESULTANAN ACEH 

Bagaimanakah proses penyatuan kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Aceh dalam satu Kesultanan? Apakah hambatan yang dialami Kesultanan Aceh? Berikut penjelasannya
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Kesultanan Aceh didirikan di wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian berkembang seiring dengan penaklukan beberapa wilayah lainnya, seperti Daya, Pedir, Lidie, dan Nakur. Penaklukan terbesar adalah pada tahun 1524, yakni penyatuan wilayah dengan Kerajaan Samudera Pasai dan diikuti juga dengan Kerajaan Aru. Kesultanan Aceh terletak di utara Pulau Sumatera dengan ibukotanya, Kutaraja.
Di masa kejayaannya, Kesultanan Aceh memiliki komitmen untuk menentang imperialisme Eropa. Terutama, karena Kesultanan Aceh telah memilih ajaran Islam sebagai dasar dari pemerintahannya, sementara imperialisme Eropa selalu berkaitan dengan misi zending atau penyebaran agama Nasrani. Kesultanan Aceh telah memiliki sistem pendidikan militernya sendiri dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Salah satu pemimpin Kesultanan Aceh di masa keemasannya adalah Sultan Iskandar Muda. Pada masa kepemimpinannya, Aceh berhasil memukul mundur tentara Portugis dari Selat Malaka pada tahun 1582. Kesultanan Aceh melakukan konfrontasi dengan Portugis saat berupaya memperluas wilayah Kesultanan di Selat Malaka dan Semenanjung Melayu.
Semasa kepemimpinan Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar, Kesultanan Aceh semakin berkembang menjadi kerajaan yang kuat dengan kekuatan angkatan perang besar. Hubungan diplomatik luar negeri dilakukan dengan negara Islam di Timur Tengah, yaitu Turki dan India. Sultan juga mengirimkan utusan ke Konstatinopel untuk meminta bantuan melawan kekuasaan kerajaan-kerajaan lain dalam upayanya melakukan ekspansi kekuasaan. Hal ini dapat dibuktikan melalui sumber sejarah pada La Grand Encyclopediebahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa, Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Kesultanan Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia.
Masyarakat di Kesultanan Aceh hidup dengan cara berdagang. Komoditas dagang utama Kesultanan Aceh adalah rempah-rempah dan emas. Hubungan yang baik dengan bangsa lain turut berpengaruh pada kemajuan kebudayaan rakyat Kesultanan. Masyarakat sudah mengenal hukum adat yang dilandasi ajaran Islam atau Hukum Adat Makuta Alam. Hukum tersebut mengatur pengangkatan Sultan agar selaras dengan hukum adat. Selain itu, dalam menjalankan kekuasaannya, Sultan mendapatkan pengawasan dari alim ulama, kadhi, dan dewan kehakiman. Mereka memberikan peringatan dan pertimbangan kepada Sultan terhadap pelanggaran adat dan hukum. Adapun di dalam masyarakat, secara tidak sadar, telah berkembang sistem feodalisme dan pelapisan sosial. Sebagai contoh, adalah pembagian masyarakat atas kaum bangsawan sebagai pemegang kekuasaan dalam pemerintahan sipil yang disebut dengan Teuku dan kaum ulama yang memegang peranan dalam kegiatan keagamaan bergelar Tengku. Antara kedua golongan tersebut kerap terjadi persaingan, sehingga turut berdampak melemahkan Kesultanan Aceh.
Kemunduran Kesultanan Aceh berlangsung di tahun 1641, setelah meninggalnya Sultan Iskandar Tsani. Kemunduran disebabkan beberapa hal. Yang paling utama adalah semakin menguatnya kekuasaan Belanda di Pulau Sumatera dan Selat Malaka yang ditandai dengan jatuhnya Minangkabau, Siak, Tapanuli, dan Mandailing ke dalam jajahan Belanda. Hal lainnya adalah akibat terjadinya perebutan kekuasaan antara sesama pewaris tahta Kesultanan Aceh. Daerah kekuasaan Kesultanan Aceh juga secara perlahan melepaskan diri dari Kesultanan, seperti Johor, Pahang, Minangkabau dan Siak.
Kesultanan Aceh berdiri lebih kurang selama 4 abad, namun seiring dengan datangnya Belanda, muncul berbagai tipu muslihat untuk mengambil alih Kesultanan sebagai bagian dari jajahan. Traktat London pada tahun 1824 adalah salah satu legitimasi dari Belanda untuk mengambil alih seluruh wilayah kekuasaan Inggris di di Pulau Sumatera.

Kerajaan Malaka

KESULTANAN MALAKA


Kesultanan Malaka berada di antara Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka. Bagaimanakah keberadaan Kesultanan Malaka? Bagaimanakah kehidupan masyarakat Kesultanan Malaka? Berikut penjelasannya.
Kesultanan Malaka berada di antara Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka. Kesultanan Malaka dipengaruhi ajaran Islam dalam segenap keberadaannya. Ajaran Islam menyebar melalui kontak dagang dengan Kerajaan Samudera Pasai dan melalui pedagang-pedagang yang menyinggahi kesultanan. Pada abad ke-14 14, Kesultanan Malaka berkembang menjadi kota pelabuhan paling ramai di Asia Tenggara.
Kesultanan Malaka mengalami kejayaan semasa pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah. Di bawah kepimpinannya, Kesultanan Malaka melakukan ekspansi hingga wilayah Semenanjung Malaya dan pesisir timur Pantai Sumatera. Kesultanan Malaka berhasil memperluas wilayah kekuasaannya menjangkau Kerajaan Aru, Kedah, serta Pahang. Kehidupan politik umumnya berlangsung damai, sementara perluasan kekuasaan atau pun penjagaan stabilitas kekuasaan dilakukan dengan hubungan diplomatik maupun ikatan perkawinan. Sebagai contoh, adalah perkawinan antara Parameswara atau Sultan Iskandar Syah dengan salah seorang putri dari Kerajaan Majapahit.
Beberapa pemimpin Kesultanan Malaka yang memegang tampuk pemerintahan, di antaranya:
1) Sultan Iskandar Syah, yang merupakan pendiri dari Kesultanan Malaka. Ia adalah salah satu petinggi Kerajaan Majapahit yang melarikan diri saat terjadi ‘Perang Paregreg’. Pelariannya ke daerah Tumasik (Singapura) kemudian dilanjutkan sampai ke Semenanjung Malaya dan mendirikan Kampung Malaka sebagai cikal bakal dari Kesultanan Malaka. Nama aslinya ialah Parameswara, namun kemudian mengubah namanya menjadi berciri Islam, Iskandar Syah, dengan alasan menjaga stabilitas perdagangan di wilayahnya.
2) Sultan Muhammad Iskandar Syah, yakni putra dari Sultan Iskandar Syah dengan wilayah kekuasaan hingga mencapai seluruh Semenanjung Malaya. Perluasan kekuasaan wilayah dilakukan melalui perkawinan dengan putri Kerajaan Samudera Pasai. Hal ini agar tentara Kerajaan Samudera Pasai yang jumlahnya besar dapat mendukung ambisi Kesultanan Malaka. 
3) Sultan Mudzafat Syah, yang naik tahta setelah berhasil menyingkirkan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Pada masa pemerintahannya, terjadi serangan dari Kerajaan Siam yang dapat digagalkan. Perluasan wilayah yang dilakukan meliputi Pahang, Indragiri, dan Kampar.
4) Sultan Mansyur Syah, yakni putra dari Sultan Mudzafat Syah. Semasa pemerintahannya, Kesultanan Malaka menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara.
5) Sultan Alaudin Syah, yang semasa pemerintahannya harus menghadapi kemunduran Kesultanan Malaka karena satu demi satu wilayah yang dikuasainya berusaha melepaskan diri.
6) Sultan Mahmud Syah, yaitu putra dari Sultan Alaudin Syah. Di masa pemerintahannya, Kesultanan Malaka telah sangat lemah. Hal ini dimanfaatkan oleh Portugis dengan melakukan serangan pada tahun 1511 di bawah pimpinan Alfonso d’ Albuquerque, yang sekaligus mengakhiri keberadaan Kesultanan Malaka.
Kehidupan masyarakat di Kesultanan Malaka didominasi oleh kegiatan perdagangan dengan memanfaatkan posisi strategisnya di jalur lintas dunia. Kesultanan Malaka memungut beberapa jenis pajak dan cukai untuk barang-barang yang masuk dan keluar di wilayahnya. Selain itu, diberlakukan juga peraturan guna mengatur kegiatan pelayaran dan perdagangan di wilayah Kesultanan Malaka.
Di Kesultanan Malaka berkembang satu bahasa yang dijadikan bahasa perantara, yaitu bahasa Melayu. Dalam masyarakat juga berkembang seni sastra Melayu dengan penggambaran terhadap tokoh-tokoh pahlawan dari Kerajaan Malaka sendiri, seperti Hang Tuah, Hang Lekir, serta Hang Jebat. Kebudayaan mereka juga sangat terbuka dengan kebudayaan bangsa lain, sehingga memungkinkan berbagai kebudayaan tumbuh dan berkembang. Beberapa sumber sejarah tentang Kesultanan Malaka diperoleh dari:
• Sulalatus Salatin
Mengatakan bahwa Kesultanan Malaka merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu di Singapura. Serangan dari Pulau Jawa (Majapahit) dan Siam menyebabkan pusat pemerintahan berpindah ke Malaka.
• Kronik Dinasti Ming
Mencatat Parameswara (Iskandar Syah) sebagai pendiri Malaka mengunjungi Kaisar Cina di Nanjing pada tahun 1405 dengan membawa upeti dan meminta pengakuan atas wilayah kedaulatannya. Sebagai balasan upeti yang diberikan, Kaisar Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada Kesultanan Malaka. Tercatat 29 kali utusan Kesultanan Malaka mengunjungi Kaisar Cina. Dampak bermakna dari hubungan Kesultanan Malaka dengan Cina adalah menghindarkan kemungkinan adanya serangan Kerajaan Siam dari utara. Hal ini terutama setelah Kaisar Cina mengabari penguasa Siam mengenai kedekatannya dengan Kesultanan Malaka. Keberhasilan dalam hubungan diplomasi dengan Cina mampu menjaga stabilitas pemerintahan Kesultanan Malaka, sehingga lantas berkembang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, sekaligus salah satu pangkalan militer Dinasti Ming.
• Laporan dari Kunjungan Laksamana Cheng Ho (1409) 
Mengambarkan bahwa ajaran Islam telah mulai dianut oleh masyarakat Kesultanan Malaka.
• Kitab Pararaton
Disebutkan terdapat nama tokoh yang mirip yaitu Bhra Hyang Parameswara (Iskandar Syah) sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu Suhita.

Kerajaan Samudra Pasai

KERAJAAN SAMUDERA PASAI


Berada di utara Pulau Sumatera, Kerajaan Samudera Pasai adalah salah satu dari kerajaan Islam terbesar di Nusantara. Bagaimanakah keberadaan Kerajaan Samudera Pasai? Bagaimanakah kehidupan masyarakat Kerajaan Samudera Pasai? Berikut penjelasannya.
Salah satu kerajaan Islam di Indonesia yang berkembang dengan pesat adalah kerajaan Samudera Pasai. Terletak di utara Pulau Sumatera, daerah ini adalah yang pertama kali disinggahi oleh saudagar-saudagar Islam yang datang dari Arab, Mesir, Persia, dan Gujarat. Kedatangan para saudagar tersebut adalah untuk melakukan perdagangan di daerah Sumatera, sekaligus menyebarluaskan ajaran Islam di wilayah yang disinggahinya.
Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Nizamudin Al-Kamil pada tahun 1267. Al-Kamil merupakan Laksamana Angkatan Laut dari Mesir sewaktu Dinasti Fatimiyah berkuasa. Ia ditugaskan untuk merebut wilayah pelabuhan di Gujarat pada tahun 1238. Setelah melaksanakan tugasnya, Al-Kamil mendirikan Kerajaan Samudera Pasai untuk menguasai perdagangan lada di wilayah Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai diyakini berpaham Islam Syiah karena Dinasti Fatimiyah di Mesir saat itu beraliran Syiah. Runtuhnya Dinasti Fatimiyah di Mesir dan digantikan dengan Dinasti Mamuluk turut berpengaruh pada peralihan kekuasaan di Kerajaan Samudera Pasai. Dinasti Mamuluk mengambil alih Kerajaan Samudera Pasai sembari membersihkan pengaruh Syiah dan menguasai pasar untuk komoditi rempah-rempah.
Raja Samudera Pasai selanjutnya adalah Marah Silu, diberi gelar Malikul Saleh. Gelar tersebut sama dengan tokoh yang membangun Dinasti Mamuluk pertama kali di Mesir. Semasa pemerintahannya, Kerajaan Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan pengembangan agama Islam bermazhab Syafi’i. Pada masa ini, Kerajaan Samudera Pasai mendapatkan kunjungan dari Marco Polo yang singgah dalam perjalanannya dari Tiongkok menuju Persia.
Kehidupan politik masyarakat di masa Kerajaan Samudera Pasai diatur oleh lembaga negara dengan tugas yang sudah terperinci dengan baik. Negara juga memiliki angkatan perang laut dan darat yang kuat. Kehidupan ekonomi masyarakat bergantung kepada dunia pelayaran dan perdagangan, sedangkan komoditi dagang utama masyarakat adalah rempah-rempah, terutama lada. Beberapa bukti kejayaan Kerajaan Samudera Pasai, di antaranya:
1) Adanya mata uang yang diciptakan sendiri sebagai alat pembayaran. Mata uang ini terbuat dari emas dan dinamakan dirham.
2) Ekspor lada ke beberapa negara Asia dengan jumlah besar setiap tahunnya.
3) Hubungan dagang yang luas dan baik dengan kerajaan-kerajaan lain dan para pedagang di Pulau Jawa. Pedagang dari Pulau Jawa bahkan mendapatkan pembebasan pembayaran cukai untuk aktivitas di Pelabuhan Kerajaan Samudera Pasai.
4) Perkembangan karya tulis dan sastra dengan memanfaatkan huruf Arab untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Bahasa ini dikenal dengan bahasa Jawi dan hurufnya sebagai Arab Jawi. 
5) Hubungan diplomatik yang baik dengan negara tetangga. Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shalih, disebutkan bahwa Cina meminta kepada Kerajaan Samudera Pasai untuk mengirimkan orang sebagai utusan untuk Kerajaan Cina. Selain itu, terjalin juga hubungan dengan berbagai negara di Timur Tengah. Salah satunya adalah Persia atau Iran.
Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran akibat beberapa permasalahan. Dari dalam kerajaan adalah akibat tidak adanya pemimpin yang kuat sepeninggal Sultan Malik At-Thahrir. Akibatnya, penyebaran agama Islam terhambat sehingga diambil alih oleh Kesultanan Aceh. Dari pihak luar, kemunduran disebabkan oleh:
• Serangan Mahapahit (1339) 
Semasa Mahapatih Gajah Mada, Kerajaan Samudera Pasai adalah salah satu kerajaan besar di Sumatera yang menjadi misi penaklukan yang bermaksud menggabungkan seluruh Nusantara di bawah Kerajaan Majapahit. Mulanya, Gajah Mada mengirimkan armada perang ‘Ekspedisi Pamalayu’ untuk melakukan serangan di Aceh. Upaya penaklukan ini berlangsung dalam waktu yang lama dan seiring dengan kian meluasnya kekuasaan Kerajaan Majapahit di Selat Malaka, maka Kerajaan Samudera Pasai pun berhasil ditaklukkan.
• Pendirian Bandar Malaka
Samudera Pasai adalah salah satu kota perdagangan di Selat Malaka dengan tingkat kesibukan yang tinggi dari abad XIII hingga awal abad XVI. Namun, setelah berdirinya Kerajaan Malaka, kondisi perdagangan di Samudera Pasai menjadi sepi dikarenakan lebih strategisnya posisi Bandar Malaka.
• Serangan Portugis
Pasukan Portugis memanfaatkan situasi di Kerajaan Samudera Pasai yang sedang lemah karena banyaknya perpecahan yang terjadi.
• Serangan dari Kesultanan Aceh
Serangan Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah dan menjadi akhir dari keberadaan Kerajaan Samudera Pasai.